Hukum Ekonomi Syariah dan Implementasinya Di Indonesia
Yulianah, Muhammad Afdha Alif Al-Mughni, Lindah Tri Amanat Sari, Diella Vania Amelinda, Faiz Naufal Al Hanani, Michael Firdaus, Anisa Citra Rakhadita
Yulianah, Muhammad Afdha Alif Al-Mughni, Lindah Tri Amanat Sari, Diella Vania Amelinda, Faiz Naufal Al Hanani, Michael Firdaus, Anisa Citra Rakhadita
Jurusan Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi, Universitas Negeri Surabaya, jalan ketintang, Surabaya 60321, Indonesia
Abstract
In the practice,islamic economics very related with finance because finance is something that very important in determine of the power base, status, and someones economic condition in this modern world now. Islamic banking is one of the institution that set the finance with islamic ways where every activity is based on islamic laws. In the activity, islamic banking apply the profit sharing principle based on akad or agreement between both sides. The apply of this system so that in every entrepeneur activity not occur uncertainly (gharar) and every financing which is done avoid riba. However, the market share of islamic banking in indonesia still very small that is 4,85%. Therefore, Bank Indonesia and stakeholder already made some deal for islamic banking growth in indonesia for islamic banking progress in national scale. other than that, in the islamic banking practice in indonesia still deviate from ilamic principle.
Abstrak
Dalam praktiknya, ekonomi syariah sangat berhubungan dengan keuangan karena keuangan merupakan sesuatu yang sangat penting dalam menentukan basis kekuatan, status dan kondisi ekonomi seseorang di dunia modern saat ini. Perbankan syariah merupakan salah satu lembaga yang mengatur keuangan secara syariah dimana setiap kegiatannya berdasarkan hukum-hukum islam. Dalam kegiatannya, perbankan syariah menerapkan prinsip bagi hasil berdasarkan akad atau kesepakatan antara kedua belah pihak. Penerapan sistem ini agar dalam setiap kegiatan bisnis tidak terjadi ketidakpastian (gharar) dan setiap pembiyaan yang dilakukan terhindar dari riba. Namun, pangsa pasar perbankan syariah di Indonesia masih sangat kecil yaitu 4,85%. Oleh karena itu, Bank Indonesia dan stakeholder telah membuat kesepakatan pengembangan perbankan syariah di Indonesia demi kemajuan perbankan syariah dalam skala nasional. Selain itu, dalam pratiknya perbankan syariah diIndonesia masih menyimpang dari prinsip syariah.
PENDAHULUAN
Ekonomi syariah adalah rambu-rambu pengaturan dalam beraktivitas dimaksud, baik dalm bentuk hukum perbankan, jual beli, asuransi, gadai, utang piutang, maupun dalam bentuk lainnya dalam bidang hukum ekonomi yang dalam bahasa peraturan perundang-undangan. Ilmu ekonmi syariah adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari perilaku manusia sebagai hubungan antara tujuan dan sarana untuk memiliki kegunaan-kegunaan alternatif berdasarkan hukum islam. (Zainudin, 2009)
Dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, maka ekonomi syariah berarti perbuatan dan/atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah, antara lain meliputi bank syariah, lembaga keuangan mikro syariah, asuransi syariah, reasuransi syariah, reksadana syariah, obligasi syariah & surat berharga berjangka menengah syariah, sekuritas syariah, pembiayaan syariah, pegadaian syariah, dana pensiun lembaga keuangan syariah, dan bisnis syariah. (Zainudin, 2009) Ekonomi syariah muncul diindonesia pada tahun sekitar 1990-an yang dimulai secara yuridis normatif dengan lahirnya Undang-Undang No. 10 Tahun 1992 yang mengandung ketentuan bolehnya bank konvensional beroperasi dengan sistem bagi hasil. Kemudian pada saat bergulirnya era reformasi timbul amandemen yang melahirkan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 yang memuat lebih rinci tentang perbankan syariah. Undang-Undang ini mengawali era baru perbankan syariah di indonesia, yang ditandai dengan tumbuh pesatnya bank-bank syariah baru atau cabang-cabang syariah pada bank konvensional sehingga praktik pelasanaan keuangan syariah di Indonesia memerlukan panduan hukum Islam guna mengawal pelaku ekonomi yang sesuai dengan tuntunan syariat islam. (Zainudin, 2009)
METODE PENELITIAN
Fokus penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana hukum ekonomi syariah diterapkan di Indonesia. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan sistem anilisis melalui sumber-sumber yang relevan dan melihat berbagai fenomena yang ada. Analisis digunakan sebagai cara untuk membuat kesimpulan yang valid melalui fenomenafenomena yang ada. Konteks penelitian adalah penerapan hukum syariah terhadap lembaga perbankan syariah yang ada di Indonesia.(Hardi, 2019)
PENELITIAN DAN DISKUSI
Ekonomi Syariah
Ekonomi dapat diartikan sebagai kaidah-kaidah, aturan-aturan, atau cara pengelolaan suatu rumah tangga. Pengaturan urusan rumah tangga dalam ekonomi berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan rumah tangga dan sejenisnya. Sedangkan islam berarti selamat, damai, tunduk, pasrah, dan berserah diri. Secara garis besar ekonomi islam berarti aturan atau pengetahuan mengenai bagaimana cara mengimplementasikan sumber daya untuk memenuhi kebutuhan dan kesejahteraan manusia sesuai dengan syariat islam. (Aziz, 2008)
Ekonomi syariah memberikan manfaat yang besar bagi umat islam berupa: a) mewujudkan seorang muslim yang kaffah, sebab dalam ekonomi konvensional masih mengandung unsur riba. b) Menerapkan dan mengamalkan ekonomi syariah dapat terbebas dari unsur riba yang diharamkan dan mendapatka pahala. c) Praktik ekonomi islam bernilai ibadah karena berdasarkan syariat islam. d) Mengamalkan ekonomi syariah berarti mendukung kemajuan lembaga ekonomi umat islam itu sendiri. e) mengamalkan ekonomi syariah mendukung upaya pemberdayaan ekonomi umat islam itu sendiri. f) Mengamalkan ekonomi syariah berarti mendukung gerakan amar ma’ruf nahi munkar, sebab dana yang digunakan untuk hal-hal yang baik dan tidak merugikan.
Adapun tujuan ekonomi syariah telah dijelaskan dalam Al- Qur’an diantaranya: a. kesejahteraan ekonomi dalam kerangka moral islam (QS. Al-Baqarah ayat 2 dan 168, Al-Maidah ayat 87-88, Al-Jumu’ah ayat 10). b. Membentuk masyarakat dengan tatanan social yang solid berdasarka keadilan dan persaudaraan universal (QS. Al-Hujurat ayat 13, Al-Maidah ayat 8, AsySyu’araa ayat 183). c. Mencapai distribusi pendapatan dan kekayaan yang adil dan merata (QS. Al-An’am ayat 165, An-Nahl ayat 71, Az-Zukhruf ayat 32). d. Menciptakan kebebasan individu dalam konteks kesejahteraan social (QS. Ar-Ra;du ayat 36, Luqman ayat 22). (Zainudin, 2009)
Ekonomi syariah memberikan manfaat yang besar bagi umat islam berupa: a) mewujudkan seorang muslim yang kaffah, sebab dalam ekonomi konvensional masih mengandung unsur riba. b) Menerapkan dan mengamalkan ekonomi syariah dapat terbebas dari unsur riba yang diharamkan dan mendapatka pahala. c) Praktik ekonomi islam bernilai ibadah karena berdasarkan syariat islam. d) Mengamalkan ekonomi syariah berarti mendukung kemajuan lembaga ekonomi umat islam itu sendiri. e) mengamalkan ekonomi syariah mendukung upaya pemberdayaan ekonomi umat islam itu sendiri. f) Mengamalkan ekonomi syariah berarti mendukung gerakan amar ma’ruf nahi munkar, sebab dana yang digunakan untuk hal-hal yang baik dan tidak merugikan.
Adapun tujuan ekonomi syariah telah dijelaskan dalam Al- Qur’an diantaranya: a. kesejahteraan ekonomi dalam kerangka moral islam (QS. Al-Baqarah ayat 2 dan 168, Al-Maidah ayat 87-88, Al-Jumu’ah ayat 10). b. Membentuk masyarakat dengan tatanan social yang solid berdasarka keadilan dan persaudaraan universal (QS. Al-Hujurat ayat 13, Al-Maidah ayat 8, AsySyu’araa ayat 183). c. Mencapai distribusi pendapatan dan kekayaan yang adil dan merata (QS. Al-An’am ayat 165, An-Nahl ayat 71, Az-Zukhruf ayat 32). d. Menciptakan kebebasan individu dalam konteks kesejahteraan social (QS. Ar-Ra;du ayat 36, Luqman ayat 22). (Zainudin, 2009)
Sumber Hukum Ekonomi
Syariah Sistem Hukum Ekonomi Syariah mencakup cara dan pelaksanaan kegiatan usaha yang berdasarkan prinsi syariah. Dalam ilmu hukum ekonmi nonsyariah masalah pilihan itu sangat tergantung pada perilaku masing-masing individu. Individu yang tidak memperhitungkan persyaratan perilau yang harus dimiliki oleh setiap muslim maka akan mengabaikan ramburambu hukum islam. Namun dalam ilmu hukum ekonomi syariah, tidak berada dalam kedudukan untuk mendistribusikan sumber-sumber yang bertentangan dengan nilai-nilai hukum islam. Dalam hal ini pembatasan yang serius berdasarkan aturan keetapan dalam kitab suci Al-qu’an dan sunnah Nabi Muhammad SAW.
Undang-Undang No 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang No 7 Tahun 1989 tentang peradilan agama, undang-undang ini membawa implikasi besar terhadap perundangundangan yang mengatur harta benda, bisnis, dan perdagangan secara luas. Pada pasal 49 poin i disebutkan dengan jelas bahwa Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama islam di bidang ekonomi syariah. Dalam penjeasan undang-undang tersebut disebutkan bahwa yang dimaksud dengan ekonomi syariah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah. Antara lain: Bank syariah, lembaga keuangan mikro syariah, asuransi syariah, reasurasi syariah, reksadana syariah, obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah, sekuritas syariah, pembiayaan syariah, pengadaian syariah, dana pensiun lembaga keuangan syariah, dan bisnis syariah.
Apabila melakukan kajian terhadap fatwa-fatwa di Indonesia terasa sangat menarik mengingat mayoritas penduduknya adalah warga masyarakat islam yang beraliran mazhab sunni. Pemberi fatwa sepenuhnya dilakukan oleh ulama secara perorangan hingga permulaan abad ke20. Ketika munculnya ekonomi praktik ekonomi syariah di Indonesia pada tahun 1990 a yang dimulai secara yuridis normatif dengan lahirnya UndangUndang No 10 Tahun 1992 yang mengandung ketentuan bolehnya bank konvensional beroperasi dengan sistem bagi hasil. Kemudian pada saat bergulirnya era reformasi timbul amandemen yang melahirkan UndangUndang No 10 Tahun 1998 yang memuat lebih rinci tentang perbankan syariah. Undang- undang ii mengawali era baru perbankan syariah di diIndonesia, yang ditandai dengan tumbuh pesatnya bank-bank syariah baru atau cabang-cabang syariah pada bank konvensional sehingga praktik pelaksanaan keuangan syariah di Indonesia memerlukan panduan hukum islam guna mengawal pelaku ekonomi yang sesuai dengan tuntunan syariat islam. (Zainuddin, 2009)
Sumber Hukum Ekonomi Syariah
Al Qur’an
Al Qur’an adalah sumber hukum islam yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW untuk umat manusia sebagai pedoman kehidupan dunia dan akhirat. Nilai-nilai yang ada dalam alqur’an bersifat solutif dan berkeadilan. Contoh nilai-nilai yang terkandung dalam al-qur’an adalah : 1) Perjudian di dalam al-qur’an dianggap sebagai perbuatan syaitan yang akan menimbulkan kejahatan dan kerusakan serta permusuhan. Perjudian adalah semua aktifitas yang didalamnya mengandung pengaduan nasib termasuk dalam kategori judi. Misalnya, seseorang yang bertransaksi jual beli terhadap ikan yang masih ada di lautan atau burung yang ada di angkasa. 2) Riba adalah tambahan keuntungan dari pokok pinjaman. Riba termasuk perilaku yang merugikan orang lain. Riba dilarang oleh islam karena pelaku riba mendapatkan keuntungan dari orang lain tanpa bekerja. 3) Menafkahkan Harta atau Infaq adalah memberikan harta tanpa kompetensi apapun Dalam islam, pemilik harta bukanlah pemilik mutlak harta tersebut. Tetapi didalamnya terselip hak para fakir miskin dan para peminta. Prinsip ini ditekankan agar kaum aghniya’ tidak sewenang-wenang dengan kekayaannya. 4) Menunaikan zakat yaitu orang-orang yang mampu, tetapi zakat lebih ditekankan pada pelaksanaanya. Zakat merupakan rukun Islam yang harus dilaksanakan setiap tahun dari penghasilan yang kita peroleh. Didalam Al-Quran terdapat delapan golongan mustahiq zakat. Zakat juga dikenakan kepada para pengusaha yang bekerja dibidang profesi dan jasa. (Basyir, 1982)
As –Sunnah atau Al – Hadist
As –Sunnah atau Al – Hadist merupakan sumber hukum Islam kedua setelah Al-Qur’an. Semua yang belum disebutkan dalam al-Qur’an dapat ditemukan dalam al- Hadist. Salah satu contuhnya adalah: 1) Penipuan dalam Jual Beli (Tadlis) adalah penipuan dalam jual beli yang dilakukan oleh penjual ataupun oleh pembeli. Penipuan penjual seperti menyembunyikan cacat barang. Sedangkan penipuan pembeli seperti melakukan pembayarannya dengan uang palsu atau uang rusak. 2) Penimbunan (Ihtikar) yang diriwayatkan dalam Hadist Muslim dari Sa’ad bin alMusaib dari Ma’mar bin Abdullah al-Adawi, bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda: “Tidak akan melakukan penimbunan kecuali orang yang salah.” Penimbunan adalah mengumpulkan barang-barang untuk suatu masa dimana barang menjadi langka sehingga harga barang melonjak tinggi. Penimbunan secara mutlak dilarang dan hukumnya haram. (Basyir, 1982)
Ijma’ (konsesus)
Ijma’ (konsesus) adalah pendapat para ulama. Para ulama secara bersama-sama membahas suatu masalah. Hasil yang diputuskan tersebut menjadi hukum. Contoh Ijma’ adalah : hukum mengkonsumsi ganja atau sabu-sabu, atau sejenis minuman yang memabukkan. Didalam ALQur’an Allah hanya menjelaskan tentang larangan meminum khamar. Sebagaimana firman Allah SWT : ”Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya meminum khamr, berjudi (berkorban untuk) berhala,mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan .( QS. Almaidah ayat 90). Sedangkan masalah ganja ataupun sabu-sabu tidak dijelaskan didalam Al-Qur’an. (Basyir, 1982)
Qiyas
Qiyas adalah menyamakan sesuatu hal yang hukumnya tidak terdapat ketentuannya dalam al-Qur’an dan sunah rasul. Misalnya , QS. Al-Maidah:90 melarang minum khamr yang terbuat dari anggur karena minuman tersebut memabukkan. Oleh sebab itu segala minuman yang memabukkan yang bukan dibuat dari anggur, misalnya tuak yang dibuat dari bunga enau dapat diqiyaskan dengan khamr yang haram hukumnya. Contoh lain adalah dalam al-Qur’an diharamkan riba adalah karena didalamnya tersirat unsur eksploitasi(dzulm). Bunga bank dalam banyak hal terkandung unsur eksploitasi. Oleh karena itu bunga bank termasuk haram. (Basyir, 1982)
Mazhab Ekonomi Syariah
Menurut Agus Arwani terdapat tiga mazhab pemikiran ekonomi Islam yaitu mazhab Baqir Sadr (Iqtishaduna), mazhab Mainstream, dan mazhab Alternatif-Kritis. Mazhab Baqir Sadr berpendapat bahwa ilmu ekonomi tidak pernah bisa sejalan dengan Islam. Ekonomi tetap ekonomi dan Islam tetap Islam. Perbedaan ini berdampak pada perbedaan cara pandang keduanya dalam melihat masalah ekonomi. Menurut ilmu ekonomi, masalah ekonomi muncul karena adanya keinginan manusia yang tidak terbatas sementara sumber daya yang tersedia untuk memuaskan keinginan manusia tersebut jumlahnya terbatas. Mazhab Baqir menolak pernyataan ini, mereka berpendapat bahwa pada kenyataannya keinginan manusia itu terbatas. Mazhab Baqir juga berpendapat bahwa masalah ekonomi muncul karena adanya distribusi yang tidak merata dan adil sebagai akibat sistem ekonomi yang membolehkan eksploitasi pihak yang kuat terhadap pihak yang lemah. Oleh karena itu masalah ekonomi bukan karena sumber daya yang terbatas, tetapi karena keserakahan manusia yang tidak terbatas.(Arwani, 2012)
Mazhab Mainstream setuju bahwa masalah ekonomi terjadi karena sumber daya yang terbatas dengan keinginan manusia yang tidak terbatas. Pandangan mazhab ini tentang masalah ekonomi hampir tidak ada bedanya dengan pandangan ekonomi konvensional. Perbedaannya terletak dalam cara menyelesaikan masalah tersebut. Dalam mazhab ini manusia membuat skala prioritas pemenuhan keinginan, dari yang paling penting sampai yang paling tidak penting. Dalam ekonomi konvensional, pilihan dan penentuan skala prioritas dilakukan berdasarkan selera pribadi masing-masing. Tokoh-tokoh mazhab ini diauntaranya M. Umer Chapra, M.A. Mannan. M. Nejatullah Siddiqi, dan lain-lain.(Arwani, 2012)
Mazhab Alternatif-Kritis ini mengritik dua mazhab usebelumnya. Mazhab Baqir dikritik sebagai mazhab yang berusahau untuk menemukan sesuatu yang baru yang sebenarnya sudah ditemukan oleh orang lain. Sementara mazhab Mainstream dikritiknya sebagai jiplakan dari ekonomi neoklasik dengan menghilangkan riba dan memasukkan zakat serta niat. Mazhab Alternatif-Kritis berpendapat bahwa Islam pasti benar, tetapi ekonomi Islam belum tentu benar karena ekonomi Islam adalah hasil penafsiran orang Islam atas Al-Qur’an dan As-Sunnah, sehingga nilai kebenarannya tidak mutlak. Ekonomi Islam harus selalu diuji kebenarannya sebagaimana yang dilakukan terhadap ekonomi konvensional. adalah Tokoh-tokoh mazhab ini diantaranya Timur Kuran (Ketua Jurusan Ekonomi di University of Southern California) dan Jemo (Yale, Cambridge, Harvard, Malaya)(Arwani, 2012)
Perbankan Syariah di Indonesia
Keuangan merupakan sesuatu yang sangat kuat, keuangan dapat menjadi senjata politik, sosial, ekonomi serta memainkan peran yang sangat penting dalam menentukan basis kekuatan, status dan kondisi ekonomi seseorang di dunia modern saat ini. Di Indonesia, lembaga keuangan dapat berbentuk bank dan non-bank yang disebut dengan lembaga keuangan bank dan lembaga keuangan non-bank. Pada pasal 1 butir 1 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 menjelaskan mengenai pengertian perbankan. Perbankan syariah dijelaskan pada pasal 1 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 dan dimaksud dengan prinsip syariah dijelaskan pada pasal 1 butir 13. Sedangkan pada Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 pasal 1 memberikan penjelasan dan pengertian yang lebih spesifik terkait tentang perbankan syariah. Kemudian ketentuan syariah dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 pasal 1 angka 12 tentang perbankan syariah. (Hardi, 2019)
Pada prinsipnya lembaga keuangan konvensional dan lembaga keuangan syariah itu sama yaitu sebagai perantara dua belah pihak; pihak yang kelebihan dana dan pihak yang yang kekurangan dana. Berdasarkan prinsip syariah, yaitu perjanjian hokum islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan nilai-nilai syariah yang bersifat makro maupun mikro. (Hardi, 2019)
Di Indonesia, pasca 1998 an juga menjadi periode penting dikarenakan perkembangan setelah tahun tersebut sektor perbankan syariah mengalami pertumbuhan yang sangat signifikan. Melihat signifikansi pertumbuhan perbankan syariah tersebut pada tahun 2008 pemerintah menerbitkan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang semakin memperkuat eksistensi LKS khususnya perbankan di Indonesia. Sejak diterbitkan fatwa pertama oleh DSN-MUI No.01/DSN-MUI/IV/2000 tentang Giro Tahun 2000 diiringi dengan perkembangan LKS di Indonesia. Per Juni tahun 2000 jumlah Bank Umum Syariah (BUS) sebanyak 3 BUS dengan 95 Kantor Cabang (KC), 51 Kantor Cabang Pembantu (KCP), 5 unit Pembantu Syariah (UPS) dan 137 Kantor Kas (KK). Sedangkan Unit Usaha Syariah (UUS) pada periode yang sama berjumlah 17 KP, 69 KC, 24 KCP dan 1 KK dan Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) berjumlah 89 KP. Sementara jumlah tersebut meningkat secara eksponensial pada periode Juni tahun 2010 yaitu jumlah BUS sebanyak 12 dengan 2.121 jaringan kantor di seluruh Indonesia, UUS berjumlah 22 dengan 327 jaringan kantor dan BPRS berjumlah 161 dengan 433 jaringan kantor seluruh Indonesia. (Hardi, 2019)
Dalam kurung waktu satu dekade BUS meningkat 773 persen, UUS menigkat 314 persen dan BPRS meningkat sebesar 667 persen dari tahun 2005 ketahun 2015. Pada laporan Juni 2015 Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melalui Departemen Perizinan dan Informasi merilis jaringan kantor individual perbankan syariah, dari laporan tersebut terdapat 34 perbankan syariah dengan rincian 12 masuk dalam kategori Bank UmumSyariah (BUS) dan 22 bank konvensional yang memiliki Unit Usaha Syariah (UUS). Dalam 10 tahun terakhir, perbankan syariah telah mengacu pada fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) sebelum menerbitkan suatu jasa. Fatwa DSN-MUI merupakan pedoman bagi perbankan syariah di Indonesia dalam menjaga ketaatan syariah terhadap prinsip-prinsip yang telah ditetapkan oleh syariah Islam. (Hardi, 2019)
Pangsa pasar perbankan syariah masih sangat kecil yaitu 4,85%, padahal target pangsa pasar perbankan syariah adalah sebesar 15% pada akhir tahun 2015. Hal ini tentunya mendorong praktisi perbankan syariah agar secepatnya mencari strategi pengembangan perbankan syariah. Untuk itu Bank Indonesia dan stakeholder telah membuat kesepakatan pengembangan perbankan syariah di Indonesia demi kemajuan perbankan syariah secara nasional. Dalam kesepakatannya pengembangan perbankan syariah ini terdapat 6 fondasi (Syukron, 2013), yaitu:
Fondasi I, struktur perbankan syariah yang sehat terdiri atas:
1. Terwujudnya bank-bank syariah dengan standard operasi internasional, berdaya saing dan berkompetensi pada jenis pasar yang dipilihnya serta permodalan yang memadai.
2. Tercapainya pangsa pasar perbankan syariah yang cukup signifikan pada akhir tahun 2015 (sekitar 15%).
3. Jumlah Bank Umum Syariah (BUS) minimal 10% dari perbankan nasional dicapai pada tahun 2015.
4. Terwujudnya aliansi strategis bank syariah dengan lembaga-lembaga keuangan syariah lain.
5. Terwujudnya linkage program antara BUS, UUS, dan BPRS dalam melayani sector UMK (Usaha Menengah dan Korporasi).
Fondasi II, terpenuhinya prinsip kehati-hatian dan kepatuhan syariah yang terdiri atas:
1. Perbankan syariah memiliki undang-undang tersendiri (UU Bank Syariah).
2. Berlakunya ketentuan perpajakan yang fair bagi transaksi perbankan syariah.
3. Tersusunnya standard keuangan syariah untuk mendukung pengembangan produk yang selaras antara aspek syariah dan kehari-hatian.
4. Terimplementasinya nilai-nilai syariah secara mikro dalam bentuk ketentuan Good Corporate Governance (GCG) dan berbentuk market discipline.
5. Diterapkannya kebijakan masuk dan keluar yang efisien. 6. Diabuatnya peraturan yang spesifik sesuai dengan karakteristik operasional perbankan syariah.
Fondasi III, system pengawasan yang independen dan efektif yang dapat diwujudkan dengan cara:
1. Terwujudnya system pengawasan dan pengaturan berbasis risiko yang dapat mendorong kearah terbentuknya self-regulatory system, dengan dukungan IT dan SDM yang memadai.
2. Tercukupinya kebutuhan SDM pengawas bank syariah yang memiliki tingkat keahlian yang tinggi dan dalam jumlah yang proporsional.
3. Terwujudnya mekanisme dan harmonisasi pengawasan prinsip syariah dalam industry perbankan syariah dan lemabaga keuangan syariah non-bank.
4. Terwujudnya kerjasama antara otoritas pengawasan perbankan syariah nasional dengan otoritas pengawasan negara lain dalam rangka cross border supervision.
5. Terjaganya tingkat kepercayaan masyarakat yang tinggi dalam hal penerapan prinsip syariah dalam setiap transaksi.
Fondasi IV, industry perbankan syariah yang kuat. Hal ini dapat tercapai dengan cara:
1. Tercapainya porsi pembiayaan berbasis bagi hasil secara signifikan.
2. Tersedianya SDM bank syariah yang memiliki kualifikasi keahlian internasional dan dalam jumlah yang memadai.
3. Diterapkannya GCG dalam operasional perbankan syariah yang semakin efisien.
4. Perbankan syariah memiliki IT yang memadai.
5. Pengembangan produk perbankan syariah yang disesuaikan dengan kebutuhan pengguna jasa perbankan syariah dengan selalu memperhatikan aspek ketelitian dan kepatuhan syariah.
6. Pengembangan fungsi sosial bank syariah untuk mendorong pengembangan UMK dan penuntasan kemiskinan.
7. Memiliki internal control yang memadai untuk memastikan pemenuhan prinsip ketelitian dan kepatuhan syariah.
8. Pengembangan jaringan kantor dan layanan bank syariah hingga kedaerah-daerah secara merata serta sesuai kebutuhan masyarakat.
Fondasi V, infrastruktur pendukung yang mencukupi, akan dapat terwujud dengan cara:
1. Berdirinya institusi infrastruktur perbankansyariah, seperti lembaga rating, asosiasi perbankan syariah, lembaga sertfikasi, lembaga arbitrase, lembaga pendidikan, lembaga riset, lembaga peradilan muamalah, lembaga amil zakat wakaf dan DSN.
2. Semakin meningkatnya kerjasama dengan lembaga keuangan internasional dalam rangka peningkatan standard pengawasan dan standard industry perbankan syariah.
3. Terwujudnya pasar keuangan syariah yang efisien dan merefleksikan prinsip-prinsip syariah dalam instrument dan jenis transaksinya.
4. Semakin meningkatnya kerjasama dengan lembaga domestic dalam mendukung perkembangan industry perbankan syariah.
5. Berkembangan pasar keuangan social dimana perbankan syariah memiliki peran yang signifikan dalam hal mobilisasi dana-dana social dan penyalurannya ke UMK dan penuntasan kemiskinan.
6. Adanya kesamaan visi dan misi serta kejelasan kedudukan perbankan syariah dalam optimalisasi pengelolaan dana-dana voluntary sector dalam pengembagan dan pemberdayaan UMKM.
Fondasi VI, perlindungan nasabah. Perlindungan nasabah merupakan amanat undang-undang bank Indonesia, juga undang-undang perlindungan konsumen. Oleh karena itu, untuk mencapai sasaran strategis diperlukan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Terwujudnya safety-net keuangan syariah dimana kesatuan dengan konsep operasional perbankan yang berhati-hati.
2. Tercapainya tingkat pemahaman masyarakat yang tepat mengenai fungsi, peran dan positioning bank syariah dalam masyarakat, produk-produk bank syariah melalui proses sosialisasi yang efektif.
3. Terwujudnya mekanisme perlindungan konsumen
4. Tercapainya tingkat pemahaman nasabah terkait dengan hak dan kewajiban nasabah serta mekanisme penyelesaian apabila terdapat perselisihan melalui proses sosialisasi yang efektif.
5. Terbentuknya lembaga mediasi yang memiliki kemampuan untuk melayani pengaduan nasabah bank syariah.
Pada prinsipnya lembaga keuangan konvensional dan lembaga keuangan syariah itu sama yaitu sebagai perantara dua belah pihak; pihak yang kelebihan dana dan pihak yang yang kekurangan dana. Berdasarkan prinsip syariah, yaitu perjanjian hokum islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan nilai-nilai syariah yang bersifat makro maupun mikro. (Hardi, 2019)
Di Indonesia, pasca 1998 an juga menjadi periode penting dikarenakan perkembangan setelah tahun tersebut sektor perbankan syariah mengalami pertumbuhan yang sangat signifikan. Melihat signifikansi pertumbuhan perbankan syariah tersebut pada tahun 2008 pemerintah menerbitkan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang semakin memperkuat eksistensi LKS khususnya perbankan di Indonesia. Sejak diterbitkan fatwa pertama oleh DSN-MUI No.01/DSN-MUI/IV/2000 tentang Giro Tahun 2000 diiringi dengan perkembangan LKS di Indonesia. Per Juni tahun 2000 jumlah Bank Umum Syariah (BUS) sebanyak 3 BUS dengan 95 Kantor Cabang (KC), 51 Kantor Cabang Pembantu (KCP), 5 unit Pembantu Syariah (UPS) dan 137 Kantor Kas (KK). Sedangkan Unit Usaha Syariah (UUS) pada periode yang sama berjumlah 17 KP, 69 KC, 24 KCP dan 1 KK dan Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) berjumlah 89 KP. Sementara jumlah tersebut meningkat secara eksponensial pada periode Juni tahun 2010 yaitu jumlah BUS sebanyak 12 dengan 2.121 jaringan kantor di seluruh Indonesia, UUS berjumlah 22 dengan 327 jaringan kantor dan BPRS berjumlah 161 dengan 433 jaringan kantor seluruh Indonesia. (Hardi, 2019)
Dalam kurung waktu satu dekade BUS meningkat 773 persen, UUS menigkat 314 persen dan BPRS meningkat sebesar 667 persen dari tahun 2005 ketahun 2015. Pada laporan Juni 2015 Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melalui Departemen Perizinan dan Informasi merilis jaringan kantor individual perbankan syariah, dari laporan tersebut terdapat 34 perbankan syariah dengan rincian 12 masuk dalam kategori Bank UmumSyariah (BUS) dan 22 bank konvensional yang memiliki Unit Usaha Syariah (UUS). Dalam 10 tahun terakhir, perbankan syariah telah mengacu pada fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) sebelum menerbitkan suatu jasa. Fatwa DSN-MUI merupakan pedoman bagi perbankan syariah di Indonesia dalam menjaga ketaatan syariah terhadap prinsip-prinsip yang telah ditetapkan oleh syariah Islam. (Hardi, 2019)
Pangsa pasar perbankan syariah masih sangat kecil yaitu 4,85%, padahal target pangsa pasar perbankan syariah adalah sebesar 15% pada akhir tahun 2015. Hal ini tentunya mendorong praktisi perbankan syariah agar secepatnya mencari strategi pengembangan perbankan syariah. Untuk itu Bank Indonesia dan stakeholder telah membuat kesepakatan pengembangan perbankan syariah di Indonesia demi kemajuan perbankan syariah secara nasional. Dalam kesepakatannya pengembangan perbankan syariah ini terdapat 6 fondasi (Syukron, 2013), yaitu:
Fondasi I, struktur perbankan syariah yang sehat terdiri atas:
1. Terwujudnya bank-bank syariah dengan standard operasi internasional, berdaya saing dan berkompetensi pada jenis pasar yang dipilihnya serta permodalan yang memadai.
2. Tercapainya pangsa pasar perbankan syariah yang cukup signifikan pada akhir tahun 2015 (sekitar 15%).
3. Jumlah Bank Umum Syariah (BUS) minimal 10% dari perbankan nasional dicapai pada tahun 2015.
4. Terwujudnya aliansi strategis bank syariah dengan lembaga-lembaga keuangan syariah lain.
5. Terwujudnya linkage program antara BUS, UUS, dan BPRS dalam melayani sector UMK (Usaha Menengah dan Korporasi).
Fondasi II, terpenuhinya prinsip kehati-hatian dan kepatuhan syariah yang terdiri atas:
1. Perbankan syariah memiliki undang-undang tersendiri (UU Bank Syariah).
2. Berlakunya ketentuan perpajakan yang fair bagi transaksi perbankan syariah.
3. Tersusunnya standard keuangan syariah untuk mendukung pengembangan produk yang selaras antara aspek syariah dan kehari-hatian.
4. Terimplementasinya nilai-nilai syariah secara mikro dalam bentuk ketentuan Good Corporate Governance (GCG) dan berbentuk market discipline.
5. Diterapkannya kebijakan masuk dan keluar yang efisien. 6. Diabuatnya peraturan yang spesifik sesuai dengan karakteristik operasional perbankan syariah.
Fondasi III, system pengawasan yang independen dan efektif yang dapat diwujudkan dengan cara:
1. Terwujudnya system pengawasan dan pengaturan berbasis risiko yang dapat mendorong kearah terbentuknya self-regulatory system, dengan dukungan IT dan SDM yang memadai.
2. Tercukupinya kebutuhan SDM pengawas bank syariah yang memiliki tingkat keahlian yang tinggi dan dalam jumlah yang proporsional.
3. Terwujudnya mekanisme dan harmonisasi pengawasan prinsip syariah dalam industry perbankan syariah dan lemabaga keuangan syariah non-bank.
4. Terwujudnya kerjasama antara otoritas pengawasan perbankan syariah nasional dengan otoritas pengawasan negara lain dalam rangka cross border supervision.
5. Terjaganya tingkat kepercayaan masyarakat yang tinggi dalam hal penerapan prinsip syariah dalam setiap transaksi.
Fondasi IV, industry perbankan syariah yang kuat. Hal ini dapat tercapai dengan cara:
1. Tercapainya porsi pembiayaan berbasis bagi hasil secara signifikan.
2. Tersedianya SDM bank syariah yang memiliki kualifikasi keahlian internasional dan dalam jumlah yang memadai.
3. Diterapkannya GCG dalam operasional perbankan syariah yang semakin efisien.
4. Perbankan syariah memiliki IT yang memadai.
5. Pengembangan produk perbankan syariah yang disesuaikan dengan kebutuhan pengguna jasa perbankan syariah dengan selalu memperhatikan aspek ketelitian dan kepatuhan syariah.
6. Pengembangan fungsi sosial bank syariah untuk mendorong pengembangan UMK dan penuntasan kemiskinan.
7. Memiliki internal control yang memadai untuk memastikan pemenuhan prinsip ketelitian dan kepatuhan syariah.
8. Pengembangan jaringan kantor dan layanan bank syariah hingga kedaerah-daerah secara merata serta sesuai kebutuhan masyarakat.
Fondasi V, infrastruktur pendukung yang mencukupi, akan dapat terwujud dengan cara:
1. Berdirinya institusi infrastruktur perbankansyariah, seperti lembaga rating, asosiasi perbankan syariah, lembaga sertfikasi, lembaga arbitrase, lembaga pendidikan, lembaga riset, lembaga peradilan muamalah, lembaga amil zakat wakaf dan DSN.
2. Semakin meningkatnya kerjasama dengan lembaga keuangan internasional dalam rangka peningkatan standard pengawasan dan standard industry perbankan syariah.
3. Terwujudnya pasar keuangan syariah yang efisien dan merefleksikan prinsip-prinsip syariah dalam instrument dan jenis transaksinya.
4. Semakin meningkatnya kerjasama dengan lembaga domestic dalam mendukung perkembangan industry perbankan syariah.
5. Berkembangan pasar keuangan social dimana perbankan syariah memiliki peran yang signifikan dalam hal mobilisasi dana-dana social dan penyalurannya ke UMK dan penuntasan kemiskinan.
6. Adanya kesamaan visi dan misi serta kejelasan kedudukan perbankan syariah dalam optimalisasi pengelolaan dana-dana voluntary sector dalam pengembagan dan pemberdayaan UMKM.
Fondasi VI, perlindungan nasabah. Perlindungan nasabah merupakan amanat undang-undang bank Indonesia, juga undang-undang perlindungan konsumen. Oleh karena itu, untuk mencapai sasaran strategis diperlukan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Terwujudnya safety-net keuangan syariah dimana kesatuan dengan konsep operasional perbankan yang berhati-hati.
2. Tercapainya tingkat pemahaman masyarakat yang tepat mengenai fungsi, peran dan positioning bank syariah dalam masyarakat, produk-produk bank syariah melalui proses sosialisasi yang efektif.
3. Terwujudnya mekanisme perlindungan konsumen
4. Tercapainya tingkat pemahaman nasabah terkait dengan hak dan kewajiban nasabah serta mekanisme penyelesaian apabila terdapat perselisihan melalui proses sosialisasi yang efektif.
5. Terbentuknya lembaga mediasi yang memiliki kemampuan untuk melayani pengaduan nasabah bank syariah.
Penerapan prinsip syariah dalam praktek pembiayaan oleh perbankan syariah di Indonesia
Dalam kegiatannya, perbankan syariah menerapkan prinsip bagi hasil. Prinsip bagi hasil ini merupakan sebuah konsep yang membedakan dengan bank konvensional. Bagi hasil ini merupakan hubungan yang timbul antara pemilik modal atau shohibul mal dan pekerja atau mudharib. Musyarakah adalah akad kerja sama antara kedua belah pihak atau lebih dimana masing-masing memberi kontribusi dana dengan ketentuan bagia hasil berdasarkan kesepakatan dan kerugian berdasarkan porsi kontribusi dana. Mudharabah adalah akad kerjasama antara pihak pemilik dana dengan pihak pengelola dana dimana keuntungan dibagi sesuai nisbah yang disepakati dan kerugian ditanggung oleh pemilik modal.(Anand et al., 2017)
Dengan demikian jika dikaitkan dengan ketentuan yang diatur dalam UU Perbankan Syariah maka karakteristik pembiayaan yang dijalankan oleh perbankan syariah ini tidak mengandung riba’. Riba’ dalam bahasa bermakna zidayah atau tambahan. Yang dimaksud riba’ dalam al-qur’an adalah setiap penambahan yang dialami tanpa adanya satu transaksi pengganti atau penyeimbang yang dibenarkan syariah. Jika dikaitkan dengan konsep utang-piutang konvensional yang bertujuan untuk dikelola, yang membuat unsur tidak adil dan menghilangkan unsur penyeimbang adalah pihak kreditor karena mereka mendapatkan keuntungan tanpa melihat dalam pengelolaan dana tersebut apakah terjadi kerugian atau tidak. Ketidakadilan tersebut dinilai dari ratio legis bahwa jika tidak ada pengelola dana, belum tentu kreditor dapat mendapatkan keuntungan dari dana yang dia miliki.(Mansyur, 2011)
Syariah melarang adanya gharar atau ketidak-pastian dalam setiap kegiatan bisnis, pelarang terhadap gharar supaya pada kegiatan bisnis dan investasi harus terdapat kepastian terhadap hak dan kewajiban yang akan diterima oleh masing-masing pihak meliputi jumlah modal, jenis usaha, jangka waktu, keamanan, komitmen para pihak, pengawasan usaha, maupun pembagian untung rugi dan mekanisme penyelesaian sengketa yang dapat muncul dikemudian hari, dengan adanya larangan gharar ini para pihak yang mengadakan kegiatan bisnis dan investasi dituntut untuk ikhlas dan bebas dari manipulasi. Konsep berbagi risiko (risk sharing) dalam pembiayaan syariah harus ditingkatkan, selain dapat meningkatkan kedisiplinan bank, konsep tersebutdapat menghasilkan keadilan bagi pemilik dana dan pengelola dana, hal ini sesuai dengan salah satu tujuan dari hukum Islam, yaitu untuk mewujudkan keadilan. (Mansyur, 2011)
Dengan demikian jika dikaitkan dengan ketentuan yang diatur dalam UU Perbankan Syariah maka karakteristik pembiayaan yang dijalankan oleh perbankan syariah ini tidak mengandung riba’. Riba’ dalam bahasa bermakna zidayah atau tambahan. Yang dimaksud riba’ dalam al-qur’an adalah setiap penambahan yang dialami tanpa adanya satu transaksi pengganti atau penyeimbang yang dibenarkan syariah. Jika dikaitkan dengan konsep utang-piutang konvensional yang bertujuan untuk dikelola, yang membuat unsur tidak adil dan menghilangkan unsur penyeimbang adalah pihak kreditor karena mereka mendapatkan keuntungan tanpa melihat dalam pengelolaan dana tersebut apakah terjadi kerugian atau tidak. Ketidakadilan tersebut dinilai dari ratio legis bahwa jika tidak ada pengelola dana, belum tentu kreditor dapat mendapatkan keuntungan dari dana yang dia miliki.(Mansyur, 2011)
Syariah melarang adanya gharar atau ketidak-pastian dalam setiap kegiatan bisnis, pelarang terhadap gharar supaya pada kegiatan bisnis dan investasi harus terdapat kepastian terhadap hak dan kewajiban yang akan diterima oleh masing-masing pihak meliputi jumlah modal, jenis usaha, jangka waktu, keamanan, komitmen para pihak, pengawasan usaha, maupun pembagian untung rugi dan mekanisme penyelesaian sengketa yang dapat muncul dikemudian hari, dengan adanya larangan gharar ini para pihak yang mengadakan kegiatan bisnis dan investasi dituntut untuk ikhlas dan bebas dari manipulasi. Konsep berbagi risiko (risk sharing) dalam pembiayaan syariah harus ditingkatkan, selain dapat meningkatkan kedisiplinan bank, konsep tersebutdapat menghasilkan keadilan bagi pemilik dana dan pengelola dana, hal ini sesuai dengan salah satu tujuan dari hukum Islam, yaitu untuk mewujudkan keadilan. (Mansyur, 2011)
Analisis Kepailitan dalam Hukum Islam serta penerapannya terhadap Perbankan Syariah di Indonesia
Konsep kepailitan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 mengatur bahwa kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas. Sedangkan dari perspektif hukum Islam, dalam Fiqh istilah kepailitan dinamakan dengan at-taflis. Secara terminologi ahli fiqh, At-taflis (penetapan pailit) didefinisikan oleh para ulama dengan: ”Keputusan hakim yang melarang seseorang bertindak hukum atas hartanya”. Larangan itu dijatuhkan karena ia terlibat hutang yang meliputi atau bahkan melebihi seluruh hartanya.
UU Kepailitan mengatur tentang prosedur-prosedur kepailitan mulai dari sejak permohonan pailit, syarat pengajuan, legal standing pemohon, hingga sampai dengan upaya hukum. Selain itu, dalam UU Kepailitan juga memberikan mekanisme penundaan kewajiban pembayaran utang yang kesempatan bagi debitor (yang tidak insolven) untuk merekstrukturisasi utang-utangnya. Sebenarnya dalam pratik perbankan syariah, penyelesaian pembiayaan bermasalah dikenal dengan sebutan First Way Out dan Second Way Out dimana dalam penyelesaian First Way Out tersebut dilakukan dengan cara revitalisasi. Konsep Second Way Out, merupakan penyelesaian yang bersifat “ultimum remidium” jika First Way Out gagal dilakukan yakni dengan melakukan eksekusi atas jaminan. Namun faktanya, pemberian jaminan dalam akad mudharabah masih menyimpang dari prinsip syariah. Hal seperti ini terjadi pada Perbankan syariah di Indonesia dalam menjalankan prakteknya masih menyimpang dari prinsip syariah, dikatakan menyimpang karena bank syariah terkesan tidak mau menanggung kerugian yang dialami pihak pengelola dana dengan jaminan yang bertujuan memastikan agar bank syariah tidak kehilangan dana pokok objek pembiayaan dan bagi hasil.(Anand et al., 2017)
UU Kepailitan mengatur tentang prosedur-prosedur kepailitan mulai dari sejak permohonan pailit, syarat pengajuan, legal standing pemohon, hingga sampai dengan upaya hukum. Selain itu, dalam UU Kepailitan juga memberikan mekanisme penundaan kewajiban pembayaran utang yang kesempatan bagi debitor (yang tidak insolven) untuk merekstrukturisasi utang-utangnya. Sebenarnya dalam pratik perbankan syariah, penyelesaian pembiayaan bermasalah dikenal dengan sebutan First Way Out dan Second Way Out dimana dalam penyelesaian First Way Out tersebut dilakukan dengan cara revitalisasi. Konsep Second Way Out, merupakan penyelesaian yang bersifat “ultimum remidium” jika First Way Out gagal dilakukan yakni dengan melakukan eksekusi atas jaminan. Namun faktanya, pemberian jaminan dalam akad mudharabah masih menyimpang dari prinsip syariah. Hal seperti ini terjadi pada Perbankan syariah di Indonesia dalam menjalankan prakteknya masih menyimpang dari prinsip syariah, dikatakan menyimpang karena bank syariah terkesan tidak mau menanggung kerugian yang dialami pihak pengelola dana dengan jaminan yang bertujuan memastikan agar bank syariah tidak kehilangan dana pokok objek pembiayaan dan bagi hasil.(Anand et al., 2017)
KESIMPULAN
Ekonomi islam berarti aturan atau pengetahuan mengenai bagaimana cara mengimplementasikan sumber daya untuk memenuhi kebutuhan dan kesejahteraan manusia sesuai dengan syariat islam. Ekonomi syariah memberikan manfaat yang besar bagi umat islam berupa: a) mewujudkan seorang muslim yang kaffah, sebab dalam ekonomi konvensional masih mengandung unsur riba. b) Menerapkan dan mengamalkan ekonomi syariah dapat terbebas dari unsur riba yang diharamkan dan mendapatka pahala. c) Praktik ekonomi islam bernilai ibadah karena berdasarkan syariat islam. d) Mengamalkan ekonomi syariah berarti mendukung kemajuan lembaga ekonomi umat islam itu sendiri. e) mengamalkan ekonomi syariah mendukung upaya pemberdayaan ekonomi umat islam itu sendiri. f) Mengamalkan ekonomi syariah berarti mendukung gerakan amar ma’ruf nahi munkar, sebab dana yang digunakan untuk hal-hal yang baik dan tidak merugikan.
Dalam praktiknya ekonomi syariah sangat berhubungan dengan keuangan karena keuangan merupakan sesuatu yang sangat kuat, keuangan dapat menjadi senjata politik, sosial, ekonomi serta memainkan peran yang sangat penting dalam menentukan basis kekuatan, status dan kondisi ekonomi seseorang di dunia modern saat ini. Di Indonesia terdapat lembaga keuangan konvensional dan lembaga keuangan syariah. Pada prinsipnya lembaga keuangan konvensional dan lembaga keuangan syariah itu sama yaitu sebagai perantara dua belah pihak; pihak yang kelebihan dana dan pihak yang yang kekurangan dana. Berdasarkan prinsip syariah, yaitu perjanjian hokum islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan nilai-nilai syariah yang bersifat makro maupun mikro.
Pangsa pasar perbankan syariah di Indonesia masih sangat kecil yaitu 4,85%, padahal target pangsa pasar perbankan syariah adalah sebesar 15% pada akhir tahun 2015. Oleh karena Bank Indonesia dan stakeholder telah membuat kesepakatan pengembangan perbankan syariah di Indonesia demi kemajuan perbankan syariah secara nasional. Dalam kesepakatannya pengembangan perbankan syariah ini terdapat 6 fondasi, yaitu 1) Struktur perbankan syariah yang sehat. 2) Terpenuhinya prinsip kehati-hatian dan kepatuhan syariah. 3) Sistem pengawasan yang independen dan efektif. 4) Industri perbankan syariah yang kuat. 5) Infrastruktur pendukung yang mencukupi. 6) Perlindungan nasabah.
Dalam kegiatannya, perbankan syariah menerapkan prinsip bagi hasil. Bagi hasil ini merupakan hubungan yang timbul antara pemilik modal atau shohibul mal dan pekerja atau mudharib melalui akad atau kesepakatan antara kedua belah pihak. Dengan demikian jika dikaitkan dengan ketentuan yang diatur dalam UU Perbankan Syariah maka karakteristik pembiayaan yang dijalankan oleh perbankan syariah ini tidak mengandung riba’. Syariah melarang adanya gharar atau ketidak-pastian dalam setiap kegiatan bisnis. Larangan gharar ini para pihak yang mengadakan kegiatan bisnis dan investasi dituntut untuk ikhlas dan bebas dari manipulasi sehingga menghasilkan keadilan bagi pemilik dana dan pengelola dana, hal ini sesuai dengan salah satu tujuan dari hukum Islam, yaitu untuk mewujudkan keadilan. Namun faktanya, pemberian jaminan dalam akad mudharabah masih menyimpang dari prinsip syariah. karena bank syariah terkesan tidak mau menanggung kerugian yang dialami pihak pengelola dana dengan jaminan yang bertujuan memastikan agar bank syariah tidak kehilangan dana pokok objek pembiayaan dan bagi hasil.
Dalam praktiknya ekonomi syariah sangat berhubungan dengan keuangan karena keuangan merupakan sesuatu yang sangat kuat, keuangan dapat menjadi senjata politik, sosial, ekonomi serta memainkan peran yang sangat penting dalam menentukan basis kekuatan, status dan kondisi ekonomi seseorang di dunia modern saat ini. Di Indonesia terdapat lembaga keuangan konvensional dan lembaga keuangan syariah. Pada prinsipnya lembaga keuangan konvensional dan lembaga keuangan syariah itu sama yaitu sebagai perantara dua belah pihak; pihak yang kelebihan dana dan pihak yang yang kekurangan dana. Berdasarkan prinsip syariah, yaitu perjanjian hokum islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan nilai-nilai syariah yang bersifat makro maupun mikro.
Pangsa pasar perbankan syariah di Indonesia masih sangat kecil yaitu 4,85%, padahal target pangsa pasar perbankan syariah adalah sebesar 15% pada akhir tahun 2015. Oleh karena Bank Indonesia dan stakeholder telah membuat kesepakatan pengembangan perbankan syariah di Indonesia demi kemajuan perbankan syariah secara nasional. Dalam kesepakatannya pengembangan perbankan syariah ini terdapat 6 fondasi, yaitu 1) Struktur perbankan syariah yang sehat. 2) Terpenuhinya prinsip kehati-hatian dan kepatuhan syariah. 3) Sistem pengawasan yang independen dan efektif. 4) Industri perbankan syariah yang kuat. 5) Infrastruktur pendukung yang mencukupi. 6) Perlindungan nasabah.
Dalam kegiatannya, perbankan syariah menerapkan prinsip bagi hasil. Bagi hasil ini merupakan hubungan yang timbul antara pemilik modal atau shohibul mal dan pekerja atau mudharib melalui akad atau kesepakatan antara kedua belah pihak. Dengan demikian jika dikaitkan dengan ketentuan yang diatur dalam UU Perbankan Syariah maka karakteristik pembiayaan yang dijalankan oleh perbankan syariah ini tidak mengandung riba’. Syariah melarang adanya gharar atau ketidak-pastian dalam setiap kegiatan bisnis. Larangan gharar ini para pihak yang mengadakan kegiatan bisnis dan investasi dituntut untuk ikhlas dan bebas dari manipulasi sehingga menghasilkan keadilan bagi pemilik dana dan pengelola dana, hal ini sesuai dengan salah satu tujuan dari hukum Islam, yaitu untuk mewujudkan keadilan. Namun faktanya, pemberian jaminan dalam akad mudharabah masih menyimpang dari prinsip syariah. karena bank syariah terkesan tidak mau menanggung kerugian yang dialami pihak pengelola dana dengan jaminan yang bertujuan memastikan agar bank syariah tidak kehilangan dana pokok objek pembiayaan dan bagi hasil.
DAFTAR PUSTAKA
Anand, G., Aditya, K. L. S., & Abrianto, B. O. (2017). PROBLEMATIKA APLIKASI EKONOMI SYARIAH DALAM REZIM HUKUM KEPAILITAN DI INDONESIA. Jurnal Bina Mulia Hukum, 2(1), 67–79. https://doi.org/10.23920/jbmh.v2n1.6
Arwani, A. (2012). EPISTEMOLOGI HUKUM EKONOMI ISLAM (MUAMALAH). Religia, 15(1), 125–146. https://doi.org/10.28918/religia.v15i1.126
Aziz, Abdul. (2008).”Ekonomi Islam Analisis Mikro&Makro”.Penerbit: Graha Ilmu
Basyir, A. A. (1982). Asas-asas Hukum Muamalat (Hukum Perdata Islam). Yogyakarta: UH Press, hlm. 4
Hardi, E. A. (2019). FATWA DSN MUI DAN PERKEMBANGAN PRODUK PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA. Jurnal Ekonomi Syariah, 5(2), 82–105. http://ejournal.iaintulungagung.ac.id/index.php/nisbah/article/view/1364/pdf
Mansyur, M. A. (2011). ASPEK HUKUM PERBANKAN SYARIAH DAN IMPLEMENTASINYA DI INDONESIA. Jurnal Dinamika Hukum, 11(Edsus), 67–75. https://doi.org/10.20884/1.jdh.2011.11.edsus.263
Syukron, A. (2013). DINAMIKA PERKEMBANGAN PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA. Jurnal Ekonomi Dan Hukum Islam, 3(2), 28–53. http://ejournal.kopertais4.or.id/tapalkuda/index.php/economic/article/view/785/550
Zainudin, Ali. (2009).”Hukum Ekonomi Syariah”. Penerbit Sinar Grafika
Tidak ada komentar:
Posting Komentar